Minggu, 27 Maret 2016

SEJARAH KALIJODO

Kalijodo. Nama lokalisasi yang terkenal di Jakarta Utara itu tiba-tiba mencuat. Hal itu setelah Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menginstruksikan untuk menggusur dan menutup "surga dunia" ini. Akhir 2016 ini, Pemprov DKI menargetkan, kawasan yang juga dihuni banyak preman ganas ini harus bersih. Untuk diketahui, Kalijodo adalah salah satu lokasi esek-esek ternama di Jakarta. Kawasan ini begitu dikenal sebagai tempat wisata “surga dunia” bagi para pria hidung belang kelas menengah bawah.
Dengan kepuasan service “surga dunia” itulah, tak sedikit orang yang begitu tergantung dari bisnis esek-esek di Kalijodo. Tak ayal lagi, mereka pun langsung mencak-mencak saat Ahok berencana menutup lokalisasi itu.
Penampakan Kalijodo sebelum dan sesudah diratakan

Penulis novel senior, Remy Sylado, pernah membuat penelitian di Kalijodo, Jakarta Utara. Penelitian dibuat khusus untuk novel berjudul Cau Bau Kan yang terbit tahun 2001.

Remy menulis latar belakang Kalijodo dengan sumber seorang pria yang berumur 97 tahun yang diwawancarainya pada tahun 1997.

“Saat itu ingatannya masih segar, kehidupannya bersentuhan dengan Kalijodo,” kata Remy dihubungi CNNIndonesia, Selasa (16/2/2016).

Selain wawancara dan riset di lapangan, Remy juga mengandalkan berbagai literatur dari Arsip Nasional. Dari penelitian ini, dia paham bagaimana sejarah Kalijodo.

Menurut Remy, Kalijodo memiliki nilai historis dalam perkembangan kota Jakarta. “Sebagai lokasi sentral ekonomi yang menghidupkan Jakarta,” katanya.

Dari literatur yang dipelajari Remy, asal muasal Kalijodo merupakan tempat persinggahan etnis Tionghoa yang mencari gundik atau selir.

Persinggahan etnis Tionghoa

Asal muasal Kalijodo sebagaimana literatur yang dipelajari Remy, merupakan tempat persinggahan etnis Tionghoa yang mencari gundik atau selir. Saat itu, Batavia sekitar tahun 1600an di bawah kekuasaan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), mayoritas penduduknya merupakan etnis Tionghoa.

“VOC di bawah pimpinan Jan Pieterszoon Coen pernah melakukan survei yang hasilnya menyebutkan mayoritas masyarakat Batavia merupakan etnis Tionghoa,” kata Remy.

Masyarakat berlatar belakang etnis Tionghoa ini merupakan orang-orang yang melarikan diri dari Mansuria yang ketika itu sedang mengalami perang.

“Mereka melarikan diri ke Batavia tanpa membawa istri, sehingga mereka mencari gundik atau pengganti istri di Batavia,” kata Remy.

Dalam proses pencarian gundik itu, etnis Tionghoa itu kerap bertemu di kawasan bantaran sungai. Tempat yang dijadikan pertemuan pencarian jodoh itulah yang kemudian dinamakan Kalijodo.

Para calon gundik ini merupakan perempuan lokal. Biasanya para gadis pribumi menarik pria etnis Tionghoa dengan menyanyi lagu-lagu klasik Tionghoa di atas perahu yang tertambat di pinggir kali. Deskripsi ini terdapat dalam buku Cau Bau Kan saat menggambarkan kegiatan tokoh utama bernama Tinung yang mengais rezeki di Kalijodo.

Remy sebagaimana dilansir CNNIndonesia mengatakan bahwa  pada masa itu pekerja perempuan yang akan menjadi gundik disebut Cau Bau. Cau Bau bukanlah pelacur, meskipun di lokasi itu berlangsung aktivitas seksual dengan transaksi uang.“Cau Bau artinya hanya perempuan. Pada masa itu tidak ada ukuran yang disebut sebagai pelacuran,” katanya.

Istilah Cau Bau ini sama dengan Geisha dalam kebudayaan Jepang. “Perempuan yang menghibur dan mendapatkan uang atas pekerjaannya, tapi tak dianggap sebagai pelacur,” katanya.

Pada abad 20, Kalijodo berkembang sebagai tempat hiburan yang tidak hanya diincar para pria asal etnis Tionghoa. Kalijodo yang dekat dengan pelabuhan menjadi  tempat hiburan bagi para kuli pelabuhan saat kapal bersandar di Sunda Kelapa. Lama kelamaan, Kalijodo terkenal sebagai daerah pelacuran. Apalagi setelah pemerintah menutup lokalisasi pelacuran Kramat Tunggak ditutup pada 1999.


Reference:
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160216145554-20-111286/cerita-remy-sylado-soal-asal-mula-kalijodo/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar